Pedekate Itu Cobaan Anak Gadis

Selamat pagi! Hari ini cerah kelihatannya akan hujan di sore hari. Maaf, pernah punya cita-cita pembawa berita cuaca di waktu kecil, tapi gak kesampaian, pasalnya sudah jarang stasiun televisi yang menayangkan berita cuaca di mana di pembawa acara menggunakan tongkat untuk menunyuk-nunyuk peta dunia. Ya, harusnya ini sudah musim kemarau di mana para pencari puncak gunung di atas ketinggian 3000mdpl bersuka cita karena bisa melampiaskan keinginan maha sucinya. Kok pagi? Selo sekali kalau nulis pagi-pagi? Iya, saya selo, gak ada kuliah lagi :| Sudahlah, tulisan ini nantinya akan berakhir, sudah bab berapa? :|

Belum lama ini terdapat saya mendapat masalah, masalah sama siapa? Sama diri sendiri, oh, ya, kalau salah seorang teman saya tau, bocah itu senang sekali mengatakan "autis!" padahal gak boleh ya :( dan ya, dia akan mengatakan itu di depan muka saya. Saya tidak sedang jatuh hati, enggak. Bahkan gak memikirkan hal semacam itu, yang saya pikirkan bagaimana caranya bisa mendapatkan biaya untuk jalan-jalan dan skripsi. Loh, kok jalan-jalan yang disebut pertama? Itu pribadi, coba bbm saya insha Allah akan saya reply :| Masalah apa sih? Kelihatannya hidup bahagia sekali. Iya, sih hidup saya bahagia, Alhamdulillah di kelilingi orang-orang yang sayang sama saya di lingkungan yang damai dan aman. Sayang yang sebenarnya. Bukan sayang gombalan. 

Di sini saya sebagai perempuan, anak gadis, ingin berkata jujur, saya tipe perempuan yang tidak suka dibribik dan membribik dengan segala kata-kata gombal tanpa makna, apalagi puisi. Bribik bahasa Indonesianya apa ya? Pendekatan, dipedekatein, ah, semacam itu. Lagi ngetrend, lho. Apalagi jaman sekarang sudah akhir jaman, di mana gak hanya lelaki, tapi juga perempuan yang suka tebar benih. Apa itu tebar benih? Alias pedekate dengan dua atau lebih lawan jenis bukan muhrim tentunya, nah nanti tinggal dipilih mana yang terbaik dan nyangkut. Aduh, kodratnya wanita itu memilih, bukan dipilih, menang di nolak bukan dicari, dipacari, lalu ditinggalkan kalo gak dipilih. Siapa yang tidak senang dikasih perhatian, kado, ucapan-ucapan manis? Ya, seperti yang saya pernah bilang perempuan lemah dengan segala hal itu. Tapi bukan saya, saya tidak lemah dengan hal-hal yang saya sebutkan tadi jika bukan dari orang yang saya pilih. Saya bukan mau sombong, tapi sedang sedih, kalau yang didatangkan saat sekarang ini lelaki yang doyan tebar benih, rajin sms/bbm setiap jam tapi sholat lima waktunya beberapa hari sekali yang sering bikin saya gemes dan ingin patahin SIM Card Bebe, saya sempat berpikir, ah, berarti nilai saya di mata Tuhan masih sebegitu, ya, kadarnya?

Namanya perempuan wajar dong, ya, cucok rumpi? Saya bercerita kepada salah seorang teman saya muslimah, teman KKN, panggilan dari potongan nama dia adalah Imah, tapi dia lebih senang dipanggil Ima, karena Imah nanti bersaing dengan Show Imah, ya dia pingin bikin Talkshow juga, namanya Show Ima, beda brand, kan? Isinya curhatan muslimah. Saat saya mengutarakan hal-hal tersebut di atas, dia balas "Bukan begitu maksud Allah, itu kamu sedang ditegur, kamu dikasih cobaan oleh para lelaki semacam itu karena Allah justru sayang sama kamu, nanti kan naik level. Mereka cobaan buat kamu dan kamu cobaan bagi mereka." Ya, sebenarnya perempuan itu cobaan buat lelaki, jadi seharusnya jangan bangga di mana diri kita yang perempuan ini berhasil membuat satu atau lebih lelaki tertarik, kita itu media dan ladang dosa bagi mereka lelaki, dan seharusnya merasa malu. Ya, saya sedang malu, sangat malu.

Saya perempuan akhir jaman yang jauh, sangat jauh dari kesempurnaan, baik kesempurnaan jasmani, kesempurnaan karakter, apalagi kesempurnaan rohani. Ya, walau tidak sedikit yang suka gemes sama saya, mereka bilang saya mirip hamster, jadi ngegemesin. Oke, ini bukan sesuatu yang bisa dibanggakan disamakan dengan Cocoa, oh, ya, Cocoa gendut loh sekarang pemirsa dan semakin malas jogging, mirip majikannya. Oke, balik ke topik awal. Kriteria dari Ibu mungkin yang ditanyakan setiap saya mengaku sedang dekat dengan lelaki non muhrim yang pertama pasti suku apa? Jurusan apa? Saya gak suka sekali dengan pertanyaan semacam itu. Rasis? Meremehkan? Ya, sedikit, tapi ambil positifnya, orang tua hanya ingin yang terbaik di mana ekspektasi kita mengenai kasih sayang orang tua sangat jauh dari antara praduga kita dan kadar kasih sayang mereka. Saya seperti Ayah saya, tidak mematok kriteria, hanya berdoa dan berharap di mana harapan saya hanya seputar hati dan akhlaknya. Cukup orang yang berhati lembut, bertanggung jawab terhadap agama dan ibadahnya, bisa memimpin (ah, oke, yang ini kodrat jadi sudah pasti), dan bisa membuat saya tertawa. 

Walau hal dan proses bribik-membribik bukan barang baru yang setidaknya saya sudah mengerti dan setidaknya sudah mendapat nilai minimal D dari proses seperti ini, saya ternyata masih polos atau bisa dikatakan telat respon saat dibribik secara halus. Jadi, saya mohon maaf *bows*. Seperti yang saya bilang tadi, saya jarang memberikan lampu hijau demi keamanan dan kenyamanan hidup bertetangga, kalau saya sudah memberikan lampu hijau yang sangat jarang ini berarti saya sudah berpikir lumayan jernih dan sudah memilih orang itu di mana saya melihat empat harapan yang saya sebutkan tadi di dalam diri orang itu. :)