Sweet Escape to Semarang

Monika. Ya, saya biasa dipanggil teman-teman sekolah dan kampus dengan Monika. Di keluarga dipanggil lebih simple, Ata. Ah, sudahlah kalo biasa panggil Monika aja, supaya gak aneh. Oke, ini gak penting...dan random. Random. Kalo boleh dikasih nama tengah, karena menyematkan nama belakang selain nama ayah itu diharamkan maka kalau bisa saya pasti disematkan nama tengah 'Random'. 

Jalan-jalan cantik kali ini disponsori oleh kerandoman saya. Hari Kamis yang sebenarnya tidak selo saya berpikir, "Akan ke mana saya weekend ini?" dan terlintaslah ide, oh, ya, belum pernah ke Semarang! Saya bersegera buka kunci hape, bukan, bukan berniat jual hape buat jalan-jalan, tapi berniat menghubungi teman SMA yang kebetulan kuliah di Undip Semarang. Jadilah saya janjian dengan Dian namanya, teman Science One Syndicate semasa SMA di Bandar Lampung. 

Bermodal tanya-tanya kepada Dian, Iffa yang teman kampus saya, dan Vina yang teman kost, saya berangkat ke Semarang sendirian dengan entah kenapa hari itu saya menggunakan korsa BEM departemen Sosmas. Oke, itu tanpa alasan. Saya berangkat ke Semarang naik bis ekonomi yang hanya membayar 12.000 rupiah dari terminal Jombor, asal naik dan bayar tiketnya di atas bis. Sesampainya di Magelang baru tau kalo dioper bisa deh hehe, ini terminal sangat familiar, pasalnya ini terminal tempat berhenti bisa malam eksekutif tujuan Lampung berhenti cukup lama ketika saya pulang kampung ke rumah. Setibanya di Semarang yang memakan waktu kurang lebih 3 jam, saya turun dan menunggu jemputan di cantik Dian, Dayen begitu saya biasa memanggilnya. 

Saya dijemput dan hanya pulang untuk taruh barang dan langsung cuss pergi jalan-jalan. Objek pertama yang saya kunjungi adalah sebuah kelenteng Tionghoa. Gak ada yang aneh dengan kelenteng, di Jogja juga banyak. Tapi, kelenteng ini punya halaman yang cukup luas dan ada tamannya. Bisa juga masuk areal ibadahnya dan berfotoan ria di sana menggunakan pakaian adat ala-ala Tionghoa dengan membayar 20.000 rupiah. Tapi dasarnya mahasiswa otak anak Jogja, ya tidak mau bayar segitu, hehe. 




Tempatnya lucu dan pada dasarnya saya dari dulu cukup tertarik dengan budaya Tionghoa jadi makan waktu agak lama di sana.








Dilanjutkan objek selanjutnya yang tidak mungkin terlewatkan oleh semua orang yang berkunjung ke Semarang, Lawang Sewu. Sejak dulu sudah ingin sekali ke sana, karena arsitektur kolonialnya, karena mistisnya. Ya, saya orang yang kepo dan selalu penasaran. Saya datang ke sana suah hampir magrib sekitar pukul setengah 5an dan kami hanya berdua. Di sana membayar tour guide untuk keliling-keliling bangunan yang memiliki pintu banyaaaak sekali itu 20.000 berdua. Di sana kami diantarkan dan dijelaskan fungsi masing-masing ruang itu. Oke, itu sore hari dan perasaan saya makin menyebalkan, saya kesampingkan itu walau saya lihat betul apa-apa dan mas guide mengetuk pintu sebelum masuk ke beberapa ruangan. 



Mas guidenya baik, karena hanya berdua kami disuruh foto satu persatu. Sebelum menyuruh kami berpose untuk berfoto selalu saja "check sound dulu ya, mbak" oke mas! 







Ada ruangan penjara bawah tanah yang we knew it , right? Ruang bawah tanah bangunan Lawang Sewu yang aslinya merupakan ruang air sebagai pendingin bangunan di atasnya pada masa Belanda yang kemudian dijadikan penjara bawah tanah sadis oleh pemerintahan penjajahan Jepang. Saya dan Dian agak ragu apa kita berani, ya masuk ke ruang penjara bawah tanah itu apalagi di suana hampir magrib begini. Akhirnya dengan segenap keberanian dan kenekatan kami mendaftar untuk masuk ke ruang itu, dengan didampingi guide dan sepatu boot karena di ruang itu basah, ya seperti yang saya bilang beberapa detik yang lalu, kami siang menjelajah. 


Hanya di titik ini saya merasa saya aman untuk memotret

Ternyata ruang-ruang pendingin ruangan itu dialihfungsikan sebaga penjara sehingga banyak sekali ruangnya, ada penjara duduk di mana kotak yang hanya setinggi lutut manusi berukuran luas 1x1 meter persegi itu diisi air sampai pada batasnya dan berisikan 6 orang penduduk pribumi yang ditahan. Tanpa cahaya. Ini penjara pembunuhan secara psikis. Selanjutnya ada penjara berdiri, penjara ini sebenarnya hanya tembok dengan pemmbata tanpa pintum, tapi memang dasar picik diberlah pintu, sehingga ruangan yang hanya berukuran 80x80cm persegi itu diisi lagi-lagi oleh 6 orang pribumi.

Selanjutnya yang saya masih ingat ada ruang pemenggalan. Di ruangan ini terdapat alat penggal leher manusia dengan alas pasir di mana noda-noda darah masih terlihat bercecer dan memiliki akses langsung ke selokan air sehingga mayat bia langsung dibuang. 

Di beberapa titik tidak menyenangkan saya berjalan agak cepat. Hawa di sana sangat tidak bersahabat, berbeda dengan ruang-ruang di atasnya. 



Suasana Lawang Sewu kala malam hari, arsitektur kolonial yang cantik ;)

Besok paginya, kami berdua mengunjungi masjid agung Semarang. Waah masjid yang besar dengan payung-payung raksasa yang katanya dibuka setiap ibadah shalat Jum'at berlangsung. Subhanallah. Cuaca sangat panas, matahari sangat terik. Kami berakhir di tower yang menyediakan panorama view dan restauran dan museum Islam. Bahkan Dian pun belum pernah mendatanginya. 



Bangunan Masjid Agung Semarang dengan payung-payung



Tower yang bentuknya mirip minaret

Sepulangnya dari masjid agung saya meminta untuk mengunjungi teman SMA lainnya yang ada di sana, siapa lagi kalau bukan anak terjenius dan terpintar di kelas dulu yang berstudi teknikk Elektro Undip selain Ira Debora? :D 

Saya melepas rindu, kangen, dan olok-olok sampai sore dan hampir kehabisan bis. Akhirnya naik bisa apapun yang ada dan tinggal bisa patas AC, ah yasudahlah akhirnya dengan membli tiket di agen seharga 35.000 rupiah saya pulang menuju Jogja dan kali ini bisa tidur. Terimakasih Dian :) Kesan saya, kelap-kelip kota Semarang pada malam hari itu menyenangkan!