Gelandangan dan Pengemis Sebagai Penyakit Sosial

Sekarang ini kita berada pada jaman yang serba maju. Sudah hampir semua ibukota propinsi di Indonesia ini sudah menjadi kota besar. Kita sebut saja Jakarta, Jogjakarta, Semarang, Bandung, Surabaya, serta Medan. Tidak hanya penduduknya yang semakin padat, di setiap kota-kota tersebut dapat kita katakana segala macam jenis pertokoan tersedia barang-barang yang kita butuhkan. Namun, sangat disayangkan, semua kemajuan teknologi di jaman ini tidak diiringi dengan meningkatnya moralitas masyarakatnya sendiri. Bahkan cenderung menjadi suatu degradasi nilai moral.

Tidak dapat kita pungkiri lagi, ada suatu hal yang dapat kita lihat setiap hari, bahwa di hampir setiap kota terlebih lagi kota besar, dapat kita temui banyak sekali gelandangan dan pengemis yang berkeliaran di setiap lampu merah serta di arel pertokoan yang ramai pengunjung. Bahkan mereka seperti sudah memiliki ‘jadwal dan wilayah’ masing-masing dalam menjalankan aksi mereka setiap harinya. Bisa saja pada tempat yang sama namun pada waktu yang berbeda dapat kita temukan gelandangan dan/atau pengemis yang berbeda pula.

Hal ini dapat kita lihat sebagai salah satu ‘penyakit masyarakat’ yang saat ini sedang booming. Seperti contohnya saja di Jogjakarta, di setiap lampu merah terdapat peminta-minta dan pengamen. Kebanyakan pengamen yang mengamen pun hanya bermodalkan bekas tutup botol yang dipakukan di sebuah kayu tanpa menyanyi dan menyodorkan kepada setiap mobil yang berhenti. Ironisnya peminta-minta serta pengamen itu tidak hanya orang-orang tua renta, orang cacat atau anak-anaku kecil, tetapi juga orang-orang dewasa yang masih berumur masa kerja maksimal!

Tidak hanya di Jogjakarta, di Jakarta, ibu kota negara kita yang sangat rawan macet pun diperparah dengan adanya gelandangan dan pengemis yang dapat ditemui di setiap sudut jalan. Sama kasusnya seperti di Jogjakarta, banyak di antara mereka banyak yang masih pada usia produktif.

Hal ini terkadang kita anggap lumrah dan terkadang kita memberi sedekah sembarangan. Padahal justru hanya sebagian dari mereka yang menjadi gepeng adalah pilihan terakhir dan satu-satunya (terpaksa). Seperti yang di temui di Jakarta, Dinas Sosial DKI Jakarta sudah mengantongi 33 nama koordinator gepeng yang terdiri dari 11 koordinator warga DKI Jakarta dan 22 koordinator warga luar DKI Jakarta. Bayangkan dengan koordinator yang sebanyak itu, ada berapa gepeng yang dapat dimanfaatkan untuk mengemis di jalanan. Di Medan, Sumatra Utara ditemukan pernyataan dari para gepeng yang telah mendapatkan sosialisasi bahwa mereka memilih ke profesi ini lagi karena jika dibandingkan dengan Upah Minimum Propinsi (UMP) bulanan, mereka bisa mendapatkan jauh di atas itu.

Dapat kita telaah bahwa alasan dari para gepeng itu tidak hanya ekonomi, tetapi juga kemudahan mendapatkan uang sehingga hal ini menjadi tradisi di setiap daerah. Sangat disayangkan perkembang mental Indonesia yang dulunya mempunyai semangat juang tinggi, sekarang tidak sedikit yang bermental peminta-minta.

Gepeng dibagi menjadi kelompok potensial yakni gepeng yang hanya sehat, tidak cacat, bahkan usia yang prosuktif, yang lainnya digolongkan sebagai golongan non-potensial yakni yang cacat berat ataupun mengalami gangguan jiwa.

Kita dapat mengantisipasi dari yang mudah yaitu golongan potensial yang dapat diberikan bekal ketrampilan. Hal ini tentu dapat mengurangi gepang potensial yang bermotif ekonomi dan keterpaksaan.

Tentu yang membuat resah adalah gepeng potensial yang berfaktor kesengajaan. Pemprov DKI Jakarta pernah menangkap dan menindak beberapa warga yang memberi sedekah secara sembarangan kepada gepeng. Hal ini sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Perda Tibum itu melarang seseorang menjadi pengemis / pengamen dan juga melarang seseorang memberi sedekah pada pengemis/pengamen sesuai dengan perda pasal 40 c disebutkan bahwa setiap orang atau badan dilarang memberikan sejumlah uang atau barang kepada pengemis, pengamen, dan pengelap mobil. Bahkan MUI menyatakan bahwa haram hukumnya menjadikan diri seorang pengemis. Selain dengan peraturan ini pun, masyarakat pernah dihimbau untuk memberikan sedekahnya pada orang yang patut menerimanya.

Tentu saja penyelesaian masalah sosial ini tidak hanya dibutuhkan kesadaran individu semata, juga diperlukan peran masyarakat yang turut menaati perturan-peraturan serta himbauan yang diberikan oleh pemda masing-masing.