Sejarah Perkembangan Pers
BEBERAPA hari setelah teks proklamasi dibacakan Bung Karno, dari kota sampai ke pelosok telah terjadi perebutan kekuasaan dalam berbagai bidang, termasuk pers. Yang direbut terutama adalah peralatan percetakan. Perebutan kekuasan semacam ini telah terjadi di perusahaan koran milik Jepang yakni Soeara Asia (Surabaya), Tjahaja (Bandung) dan Sinar Baroe (Semarang). Dan pada tanggal 19 Agustus 2605 koran-koran tersebut telah terbit dengan mengutamakan berita sekitar Indonesia Merdeka. Dalam koran-koran Siaran Istimewa itu telah dimuat secara mencolok teks proklamasi. Kemudian beberapa berita penting seperti "Maklumat Kepada Seluruh Rakyat Indonesia", "Republik Indonesia Sudah Berdiri", "Pernyataan Indonesia Merdeka", "Kata Pembukaan Undang-Undang Dasar", dan lagu "Indonesia Raya".
Di bulan September sampai akhir tahun 1945, kondisi pers RI semakin kuat, yang ditandai oleh mulai beredarnya Soeara Merdeka (Bandung) dan Berita Indonesia (Jakarta), Merdeka, Independent, Indonesian News Bulletin, Warta Indonesia, dan The Voice of Free Indonesia. Di masa itulah koran dipakai alat untuk mempropagandakan kemerdekaan Indonesia. Sekalipun masih mendapat ancaman dari tentara Jepang, namun dengan penuh keberanian mereka tetap menjalankan tugasnya. Dalam masa klas pertama di tahun 1947, pers kita terbagi dua. Golongan pertama tetap bertugas di kota yang diduduki Belanda. Dan golongan kedua telah mengungsi ke pedalaman yang dikuasai RI. Sekalipun aktif di wilayah musuh, yang selalu dibayangi ancaman pemberedelan dan bersaing dengan koran Belanda, golongan pertama tetap menerbitkan koran yang berhaluan Republikein. Yang terkenal di masa itu antara lain Merdeka, Waspada, dan Mimbar Umum. Demikian pula yang bergerilya ke pedalaman, dengan peralatan dan bahan seadanya, koran mereka senantiasa menjaga agar jiwa revolusi tetap menyala. Di masa itu telah beredar koran kaum gerilya, yakni Suara Rakjat, Api Rakjat, Patriot, Penghela Rakjat, dan Menara. Koran-koran ini dicetak di atas kertas merang atau stensil dengan perwajahan yang sangat sederhana.
Pemberedelan pertama
Kondisi pers kita sesudah proklamasi, memang jauh berbeda dibanding di masa penjajahan Belanda dan Jepang. Di masa itu orang enggan membaca koran, lantaran beritanya melulu untuk kepentingan penguasa. Sedang pada masa kemerdekaan, koran apa saja selalu menjadi rebutan masyarakat. Sehari setelah beberapa koran mengabarkan berita tentang pembacaan teks proklamasi, maka hari-hari berikutnya masyarakat mulai memburunya. Mereka tampaknya tidak mau ketinggalan barang seharipun dalam mengikuti berita perkembangan negaranya yang baru merdeka itu. Minat baca semakin meningkat dan orang mulai sadar akan kebutuhannya terhadap media massa. Suasana seperti ini tentunya berdampak positif bagi para pengelola media masa di masa itu. Usaha penerbitan koran pun mulai marak kembali, yang konon diramaikan oleh irama gemercaknya suara alat cetak intertype atau mesin roneo. Sementara itu para kuli tinta yang sibuk kian kemari memburu berita, semakin banyak jumlahnya. Untuk menertibkan dan mempersatukan mereka, pada tahun 1946 atas inisiatif para wartawan telah dilangsungkan kongres di Solo. Dalam kongres itu telah dibentuk persatuan wartawan dan Mr. Sumanang, ditunjuk sebagai ketuanya.
Tercatat beberapa peristiwa penting dalam sejarah pers di masa revolusi yakni di tahun yang sama telah didirikan Sari Pers di Jakarta oleh Pak Sastro dan kantor berita Antara dibuka kembali, setelah selama tiga tahun dibekukan Jepang. Kantor Sari Pers setiap hari mencetak ratusan koran stensilan yang memuat berbagai berita penting dari seluruh tanah air.
Mengikuti berita surat kabar di masa itu, memang mengasyikkan dan sekaligus mendebarkan. Dari hari ke hari beritanya silih berganti, dari pertempuran dan perundingan, sampai pembangunan serta kabar berita yang penuh suka dan duka. Seperti berita di tahun 1945. Indonesia Merdeka telah disambut luapan gembira, namun di bulan November muncul berita duka, yakni tentara Inggris telah membantai ribuan rakyat dan para pejuang kita serta membumihanguskan kota Surabaya. Di tahun 1946 rakyat kita telah memperingati hari proklamasi dengan sangat meriah sebanyak dua kali, yakni pada tanggal 17 Februari, ketika Indonesia Merdeka baru berumur setengah tahun dan tanggal 17 Agustus. Tahun 1946 ditutup dengan munculnya berita musibah yang memenuhi halaman-halaman koran, yakni pembunuhan 40.000 rakyat Sulsel oleh Gerombolan Westerling pada tanggal 11 Desember. Tindakan kejam ini dilakukan pihak Belanda untuk melancarkan jalan menuju terbentuknya negara boneka Indonesia Timur.
Berita yang menggembirakan tahun 1948 adalah diselenggarakannya Pesta Pekan Olahraga Nasional pertama di Solo secara meriah pada tanggal 9 September. Namun berita-berita PON itu tiba-tiba sirna oleh terjadinya Peristiwa Madiun pada tanggal 18 September di kota yang sama. Memasuki tahun 1948 situasi dan kondisi negara RI memang mulai diwarnai oleh suasana perpecahan. Di masa itu semakin terasa ada dua golongan yang saling bertentangan yakni golongan kanan (Front Nasional) dan golongan ekstrem kiri (komunis) yang disebut FDR (Front Demokrasi Rakyat). Puncak konflik ini ditandai oleh meletusnya pemberontakan Peristiwa Madiun yang didalangi oleh PKI Muso. Peristiwa ini sempat mengguncang pemerintah. Betapa tidak, sementara rakyat kita sedang sibuk menghadapi agresi Belanda, tiba-tiba PKI menusuk dari belakang. Pidato Presiden Soekarno yang berbunyi: "Pilih Soekarno-Hatta atau Muso dengan PKI-nya" sempat menjadi berita utama dalam setiap koran. Di masa penuh konflik inilah untuk pertama kalinya terjadi pemberedelan koran dalam sejarah pers RI. Tercatat beberapa koran dari pihak FDR seperti Patriot, Buruh, dan Suara Ibu Kota telah dibreidel pemerintah. Sebaliknya, pihak FDR membalas dengan membungkam koran Api Rakjat yang menyuarakan kepentingan Front Nasional. Sementara itu fihak militer pun telah memberedel Suara Rakjat dengan alasan terlalu banyak mengeritik pihaknya.
Hubungan pemerintah dan pers
Pada tahun 1946, pihak pemerintah mulai merintis hubungan dengan pers. Di masa itu telah disusun peraturan yang tercantum dalam Dewan Pertahanan Negara Nomor 11 Tahun 1946 yang mengatur soal percetakan, pengumuman, dan penerbitan. Kemudian diadakan juga beberapa perubahan aturan yang tercantum dalam Wetboek van Strafrecht (UU bikinan Belanda), seperti drukpersreglement tahun 1856, persbreidel ordonnantie 1931 yang mengatur tentang kejahatan dari pers, penghinaan, hasutan, pemberitaan bohong dan sebagainya. Namun upaya ini pelaksanaannya tertunda karena invasi dari pihak Belanda. Barulah setelah Indonesia memperoleh kedaulatannya di tahun 1949, pembenahan dalam bidang pers dilanjutkan kembali. Di saat itu telah terjadi peristiwa bersatunya kembali golongan insan pers yang bergerak di kota yang dikuasai Belanda dengan golongan yang bergerak di daerah gerilya. Hubungan itu meliputi soal perundang-undangan, kebijaksanaan pemerintah terhadap kepentingan pers dalam hal aspek sosial ekonomi maupun aspek politisnya.
Dalam UUD pasal 19 contohnya, telah dicantumkan kalimat, setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat. Pelaksanaan UUD pasal 19 tersebut telah diusulkan dalam sidang Komite Nasional Pusat Pleno VI Yogya tanggal 7 Desember 1949 yang intinya, Pemerintah RI agar memperjuangkan pelaksanaan kebebasan pers yang mencakup memberi perlindungan kepada pers nasional, memberi fasilitas yang dibutuhkan perusahaan surat kabar, dan mengakui kantor berita Antara sebagai kantor berita nasional yang patut memperoleh fasilitas dan perlindungan.
Usulan di atas kemudian dijawab. Pemerintah RI sudah mulai merencanakan segala peraturan mengenai pers dan berupaya sekerasnya untuk melaksanakan hak asasi demokrasi. Hubungan antara pemerintah dan pers lebih dipererat dengan cara membentuk Panitia Pers pada tanggal 15 Maret 1950, penambahan halaman koran, persediaan kertas dan bahan-bahan yang diperlukan, tanpa ada ikatan apapun yang mengurangi kemerdekaan pers. Untuk meningkatkan nilai dan mutu jurnalistik, maka para wartawan diberi kesempatan untuk memperdalam ilmunya. Dan diupayakan pula agar kedudukan kantor berita Antara lebih terasa sebagai mitra dari para pengelola surat kabar.
Upaya di atas telah memungkinkan terciptanya iklim pers yang tertib dan menguntungkan semua pihak. Jumlah perusahaan koran pun dari tahun ke tahun semakin meningkat. Buktinya dalam kurun waktu empat tahun sesudah 1949, jumlah surat kabar berbahasa Indonesia, Belanda, dan Cina naik, dari 70 menjadi 101 buah. Sekalipun demikian bukan berarti mutu jurnalistiknya ikut meningkat. Untuk itu, Ruslan Abdulgani dalam tulisannya "Pers Nasional dan Funksi Sosialnya" telah menulis sebagai berikut, "Mempertinggi mutu journalistiek pada umumnja harus diartikan mempertinggi kwaliteit apa jang ditulis: hal ini dapat ditjapai bila wartawan berkesempatan tjukup memperlengkapi dirinja dengan pengetahuan tentang keadaan jang hendak ditulis, dan pelbagai ilmu pengetahuan seperti ilmu politik, sociologie, ekomomi, psychologie, sedjarah dan ketatanegaraan".
PERS MAHASISWA DITINJAU DARI KAJIAN HISTORIS
Jika kita percaya terhadap ‘mahluk’ yang bernama sejarah, kemudiaan kita claim sebagai gerak dialektis antara kondisi subyektif pelaku dan kondisi obyektif dimana mereka berada, kawan-kawan akan melihat dinamika Gerakan Mahasiswa sepanjang waktu tidak lepas dari pengaruh para aktivis Pers mahasiswa. Karena kita percayai disini, Pers mahasiswa adalah suatu alat perjuangan bagi kaum aktivis gerakan mahasiswa, corong kekuatan dalam menyalurkan aspirasi kritis seorang tunas bangsa, dan kita akan melihat hubungan diantara keduannya sangat erat. Supaya lebih jelasnya saya akan mecoba menemani kawan-kawan untuk mencoba melihat sejarah Pers Mahasiswa yang berada “dibelakang” kita.
Pers Mahasiswa Indonesia Jaman Kemerdekaan Jaman Kolonial Belanda (1914-1941)
Pers mahasiswa lahir se-mainstream dengan munculnya gerakan kebangkitan Nasional yang di tulangpunggungi oleh pemuda, pelajar dan mahasiswa. Pers Mahasiswa waktu itu menjadi alat untuk menyebarkan ide-ide perubahan yang menitik beratkan pada kesadaran rakyat akan pentingnya arti sebuah kemerdekaan. Dalam era ini bermunculan Hindia Putra (1908), Jong Java (1914), Oesaha pemoeda (1923) dan Soeara Indonesia Moeda (1933) yang secara gigih dan konsekuen atas keberpihakannya yang jelas pada perjuangan kemerdekaan.
Dalam era ini Nugroho NotoSusanto mengungkapkan bahwa Pers Mahasiswa Indonesia sesungguhnya mulai timbul dari zaman kolonial Belanda. Akan tetapi, Pers Mahasiswa dalam kurun waktu ini dipandang kurang terdapat suatu pergerakan Pers mahasiswa yang sedikit banyak profesional. Dan baru sesudah era kemerdekaan Pers Mahasiswa memulai kiprahnya ke arah profesional.
Masa Pergerakan
Setelah adanya pergerakan modern Budi Utomo, surat kabar-surat kabar di Indonesia diterbitkan sebagai salah satu media perjuangan.
Sehingga berdirilah Kantor Berita Nasional Antara pada tanggal 13 Desember 1937.
Jaman Pendudukan Jepang
Dalam era ini, tidak terlalu banyak tercatat kemajuan berarti karena masa ini para mahasiswa dan pemuda sibuk dalam perjuangan politik untuk kemerdekaan Indonesia.
Jaman Setelah Kemerdekaan
Pada jaman ini sedikit banyak Pers Mahasiswa mengalami suatu kemajuan artinya peluang untuk membentuk lermbaga-lembaga Pers Mahasiswa semakin terbuka lebar terutama buat para Mahasiswa dan Pemuda.
Jaman Demokrasi Liberal
Dari tahun 1945-1948, belum banyak Pers Mahasiswa yang lahir secara terbuka karena para Mahasiswa dan Pemuda terlibat secara fisik dalam usaha membangun bentuk Republik Indonesia. Penulis mencatat pada era Majalah IDEA yang diterbitkan oleh PMIB yang kemudian berganti PMB pada tahun 1948. Setelah Tahun 1950 barulah Pers Mahasiswa Indonesia mengalami pertumbuhan yang pesat. Kemudian komunitas Pers Mahasiswa Indonesia mengalami salah satu puncaknya di era ini.
Jumlah Pers Mahasiswa meningkat secara pesat diiringi dengana segala dinamika-dinamika yang ada. Kemudian muncul suatu hasrat dari berbagai Lembaga Pers Mahasiswa untuk meningkatkan kualitasnya, baik dari sisi redaksional maupun sisi perusahaan. Dan, atas inisiatif Majalah Gama, diadakan konferensi I bagi Pers Mahasiwa Indonesia. Konferensi menghasilkan dua organisasi yaitu Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia (IWMI yang ketuanya T Yacob) dan Serikat Pers Mahasiswa Indonesia (SPMI yang ketuanya adalah Nugroho Notosusanto).
Dalam era ini, opini Pers Mahasiswa dalam hal kematangannya tidak kalah dengan Pers Umum. Bahkan, era in dianggap keemasan Pers Mahasiswa Indonesia yang kemudian mengikuti Konperensi Pers Mahasiswa Asia yang diikuti oleh negara Australia, ceylon, Hongkong, India, Indonesia, Jepang, New zealand, pakistan dan Philipina. Kemudian Lembaga Pers Mahasiswa Indonesia mengadakan kerjasama dengan Student Informatin of Japan dan college editors Guild of the Philipphines (perjanjian segi tiga).
Kemudian Tanggal 16-19 Juli 1958 dilaksanakan konperensi Pers Mahasiswa ke II yang menghasilkan peleburan IWMI dan SPMI menjadi IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia) karena anggapan perbedaan antara kegiatan perusahaan pers mahasiswa dan dan kegiatan kewartawanan sulit dibedakan dan dipisahkan.
Jaman Demokrasi Terpimpin (1959-1966)
Dalam sistem politik terpimpin ini, pemerintah melakukan kontrol ketat terhadap kehidupan Pers. Bagi media Pers yang tidak mencantuman MANIPOL USDEK dalam AD/ART (anggaran dasar dan anggaran rumah tannga) nya akan mengalami pemberangusan. Artinya Pers kala itu harus jelas menyuarakan aspirasi partai politik tertentu.
Setelah pemberlakuan peraturan Presiden Soekarno tentang MANIPOL USDEK, IPMI sebagai lembaga yang Independen mengalami krisis eksistensi karena dalam tubuh IPMI sendiri terdapat kalangan yang menginginkan tetap independen, menyuarakan aspirasi rakyat dan ada yang mengarah ke pola partisan (memihak parpol/kelompok tertentu). Akhinya pada saat itu, banyak Lembaga Pers mahasiswa yang mengalami kemunduran dan kematian, akibat pukulan politik ekonomi ataupun dinamika kebangsaan yang berkembang saaat itu.
Jaman Orde Baru
Setelah peristiwa G.30.S/PKI IPMI sebagai Lembaga Pers Mahasiswa Indonesia terlibat penuh dalam usaha pelenyapan Demokrasi Terpimpin dan akhirnya melahirkan Aliansi Segitiga (Aktivis Pers Mahasiswa, Militer dan Teknokrat) untuk menghancurkan kondisi yang membelenggu bangsa dalam Outhoritarian. Pada awal era ini, Pers Mahasiswa kembali ke lembaganya yakni IPMI. Lembaga Pers Mahasiswa se Indonesia ini beorientasi jelas memaparkan kejelekan Demokrasi Terpimpin melibatkan diri dalam kegiatan politik dengan menjadi Biro Penerangan dari KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Di era ini tebit harian KAMI yang terkemuka yaitu Mahasiswa Indonesia (Jabar), Mimbar Demokrasi (Bandung) dan keduanya adalah penebitan resmi IPMI.
Ternyata kehidupan Liberal yang dijanjikan oleh para “penguasa” sesudah era Demokrasi Terpimpin dirasakan ternyata hanya sementara saja. Dan format baru politik Indonesia di mulai dengan diadakan PEMILU, perlahan namun pasti Orde Baru beralih menjadi otoriter. Dengan dipengaruhi keputusan format baru perpolitikan Indonesia bahwa kegiatan politrik diatur oleh pemerintah dan ditambah kebijaksanaan bagi aktivitas dunia kemahasiswaan harus melakukan back to campus. Hal di atas itulah yang mermbuat IPMI mengalami krisis identitas. Hal ini terlihat ketika Harian KAMI, penerbitan IPMI yang ada di luar kampus terpaksa dilepas dan akhirnya menjadi Pers Umum. Hal ini dikarenakan oleh iklim perpolitikan yang dikembangkan saat itu dan ditopang oleh kebijakan pemerintah yang memaksa anggota IPMI adalah murni mahasiswa yang beraktifitas di dalam kampus. Kemudian adanya kebijaksanaan Pemerintah tentang penyerdehanaan partai Tahun 1975, dilanjutkan dengan disetujuinya keputusan pemerintah oleh sebagian anggota IPMI bahwa Pers Mahasiswa harus kembali ke kampus maka dalam Kongres III pada tahun akhirnya IPMI dipaksa untuk back to campus. Terpaksa kemunduran pun terjadi lagi dalam tubuh IPMI, perlahan-lahan Media-media pers mahasiswa yang ada di luar kampus banyak yang berguguran.
Sejalan dengan new format kondisi perpolitikan indonesia yang mengharuskan Semua Lembaga Pers Mahasiswa Indonesia harus back to campus dan kemudian direspon kembali oleh IPMI dengan mencoba berbenah diri, kemudian melakukan kongresnya yang ke IV pada bulan Maret 1976 di Medan. Dalam kongres itu, IPMI belum mampu keluar dari permasalahan hidup antara di luar atau di dalam kampus. Akhirnya, IPMI gagal dalam mencari Eksistensinya, tidak menghasilkan AD/ART baru ditambah IPMI banyak ditinggalkan oleh LPM anggota yang memang pada saat itu terlalu enjoy mengurusi urusan di dalam kampus masing-masing sehingga lupa kewajiban organisasi skala nasional yang dulu pernah dibentuk bersama.
Pada sekitar awal tahun 1978, Media Umum banyak yang di breidel sebagai cermin ketakutan penguasa waktu itu dengan institusi pers, sebagai contoh KOMPAS, SINAR HARAPAN, MERDEKA, INDONESIA TIMES dan masih banyak lagi yang lainnya. Akibatnya, “dunia” pers yang kosong diisi oleh Pers Mahasiswa Indonesia tentunya dengan pemberitaan khas sebagai cerminan Pers Mahasiswa yaitu kritis, berani dan keras. Era ini, oplah Surat Kabar Mahasiswa mencapai puncaknya. Namun, Pers Mahasiswa yang dikatakan oleh Daniel Dakidae sebagai cagar alam kebebasan pers akhirnya juga di breidel karena kekritisan dan keberanian menyuarakan kenyataan di masyatrakat. Dilanjutkan dengan kebijaksanaan NKK/BKK yang memaksa kekuatan Pers Mahasiswa untuk masuk dalam kampus, kemudian hampir semua media Pers Mahasiswa Indonesia di “matikan”. Inilah pertama kali dalam sejarah Pers Indonesia semua Pers mahasiswa Indonesia di breidel.
Selain membumihanguskan semua Lembaga pers Mahasiswa, pemerintah masih kurang terima karena masih ada IPMI yang masih bercokol dalam skala nasional. Untuk itu, pemerintah lebih mengoptimalisasi BKSPMI (Badan Kerjasama Pers Mahasiswa Indonesia) yang dibentuk 1969 sebagai tandingan IPMI. Ditambah lagi aksi penguasa yang menghabisi semua Gerakan Mahasiswa Anti Suharto yang nota bene sebagai “Underbow” IPMI Kemudian dilanjutkan peristiwa MALARI (Mala Petaka Limabelas Januari) yang sangat tragis pada tahun 1974 dan diberlakukannya NKK/BKK yang mengurung ruang gerak Aktivis Pers Mahasiswa dalam kampus pada Tahun 1978. Dengan kenyataan diatas Pers Mahasiswa (IPMI) menjadi tidak bebas merefleksikan secara tuntas kenyataan hidup dalam masyarakat kemudian menginjak padam pada menjelang pertengahan Tahun 1982.
Era 90-an.
Menelusuri akar pertumbuhan dan perkembangan gerakan pers mahasiswa di Indonesia terutama kebangkitannya di era 90-an, telah banyak catatan-catatan penting yang ditinggalkan, yang selama ini perlu dikumpulkan kembali dari tempatnya yang “tersembunyi” dan barangkali belum pernah kita tengok kembali, yang memungkinkan dari catatan tersebut tersirat sebuah semangat tentang perjuangan meraih tujuan bersama, yang pernah didengungkan dalam masa-masa.
Kemunculan Perhimpunan Penerbit Mahasiswa Indonesia (PPMI) pada dekade 90-an ini di tahun 1992-1993 (1995 pada kongres II-nya, istilah penerbitan digantikan pers), mempunyai makna historis tersendiri dalam upaya pembentukan jaringan gerakan pers mahasiswa di Indonesia. Walau tak dapat dipungkiri, peran dan transformasi format gerakan pers mahasiswa selama berjalannya kinerja organisasi ini seringkali dirasakan menemui kendala dan tantangan yang tidak ringan untuk dihadapi. Selain persoalan secara geografis, dan persoalan dimensi politis berhadapan dengan penguasa (baik birokrasi kampus atau negara), Terlebih pula persoalan terputusnya transformasi visi dan misi PPMI dari generasi sebelumnya, juga secara de facto keberadaan PPMI masih sering dipertanyakan oleh beberapa lembaga Pers Mahasiswa di Indonesia. Dalam lembaran-lembaran catatan kali ini, penulis ingin mencoba menyajikan suatu kerangka awal dalam upaya merekontruksikan kembali keberadaan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia secara kronologis kelahiran dan pertumbuhannya dalam kontalasi gerakan pers mahasiswa di Indonesia.
Bukan Romantisme Belaka
Paska peristiwa MALARI (malapetaka lima belas januari 1974) bisa dikatakan pemerintah mulai melakukan pendekatn represif terhadap setiap aktivitas kritis kampus. Pada kelembagaan mahasiswa, melalui NKK-BKK terjadi strukturisasi. kondisi demikian menyulut aksi-aksi protes mahasiswa sepanjang tahun 1974 – 1978, yang diantaranya juga dilakukan oleh Dewan Mahasiswa. Melalui berbagai pamlet-pamlet, ataupun media mahasiswa yang diterbitkan oleh dema saat itu, kecaman-kecaman, kritik, kontrol terhadap setiap kebijakkan pembangunan di awal orde baru mulai dilancarkan. Namun lewat kebijakkan berikutnya, penguasa orde baru dengan aliansi militer dan sipilnya telah sedemikian rupa contohnya melalui surat yang diturunkan oleh Pangkopkamtib ketika itu (1978), Dema sebagai salah satu kekuatan lembaga mahasiswa saat itu kemudian dibubarkan, menyusul kemudian de-ormasisasi kelembagaan mahasiswa baik ditingkat intra kampus maupu ekstra kampus melalui KNPI-nya, maka praktis aktivitas mahasiswa dibugkam satu-persatu.
Dan di sisi lain pers mahasiswa yang telah lama juga menjadi salah satu alat perjuangan mahasiswa meneriakkan aspirasi dan memainkan peran kontrol sosialnya juga dibungkam. IPMI ( Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia, berdiri tahun 1955) yang menjadi satu-satunya wadah nasional pers mahasiswa Indonesia dan sempat menjadi salahsatu motor gerakan mahasiswa juga secara perlahan mulai dimatikan. Hingga eksistensi organisasi ini akhirnya mulai padam menjelang pertengahan tahun 1982. Praktis beberapa elemen kekuatan mahasiswa yang diantaranya termasuk pers mahasiswa mengalami kelesuan dan kemandegan.
Di awal era menjelang tahun 90-an, munculnya kelompok studi dan forum -forum diskusi mahasiswa ataupun lembaga swadaya kemasyarakatan (LSM) baik yang didirikan oleh para aktivis mahasiswa ataupun pemuda yang prihatin terhadap kondisi lingkungan, mulai menjamur di berbagai daerah - sebagai sebuah solusi terhadap kebekuan aktivitas kritis kampus ataupun aktivitas peduli lainya. Mahasiswa mulai mendefinsikan kembali peranannya untuk menghayati setiap persoalan-persoalan kemasyarakatan dan fenomena politik yang terus berkembang seiring dengan menguatnya konsolidasi orde baru.
Demikian pula yang terjadi dalam aktivitas pers mahasiswa. Aktivitas-aktivitas penerbitan dan beberapa forum pelatihan dan pendidikan jurnalistik di tahun 1986-1989 mulai marak diadakan oleh beberapa perguruan tinggi dalam rangka menghidupkan kembali dinamika intelektual kampus. Dari sekian forum-forum pelatihan jurnalistik mahasiswa tersebut, tersirat tentang sebuah keinginan akan sebuah wadah bagi tempat sharing (tukar-menukar pengalaman) para pegiat pers mahasiswa dalam rangka untuk meningkatan mutu penerbitan mahasiswa sendiri ataupun untuk menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi oleh pers mahasiswa. Maka mulai tahun 1986, forum-forum pertemuan para pegiat/aktivis pers mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi mulai marak terjadi. Tak pelak lagi gelombang aspirasi dan akumulasi persoalan yang digagas oleh para aktivis pers mahasiswa mulai muncul dan mewarnai berbaai forum pertemuan aktivis pers mahasiswa.
Namun ada beberapa hal yang terpenting dari berbagai forum pers mahasiswa tersebut, yang sekiranya dari penelusuran data-data di bawah ini dapat menjadi catatan sebagai sebuah refleksi dan pemahaman lebih lanjut. Tetapi hal ini bukan sekedar ” romantisme belaka” yang hendak kita capai dalam penelusuran sacara historis fase-fase perkembangannya. Peranan pers mahasiswa dalam kancah pembaharuan bidang politik tentunya mempunyai dimensi sosial tersendiri. Yang terkadang terlupakan dalam arah sejarah negeri ini. Guratan visi dan misinya yang mengandung penegasan sikap mahasiswa sebagai salah satu elemen masyarakat di negeri ini, yang secara sosial terdidik dalam lingkungan intelektual kampus, yang diharapkan mampu peka terhadap perkembangan sosial di tubuh masyarakat dan negara. Dan melalui pers mahasiswa, sebagai salah satu media perjuangan mahasiswa menyampaikan suara dan nuraninya, kepekaan sosial mampu ditumbuhkan dan simultan dengan fenomena yang terjadi di negeri ini.
Di awal bagian pengantar disebutkan bahwa mulai tahun 1980- 90an, aktivitas - aktivitas mahasiswa mulai marak dengann ditandai munculnya berbagai kelompok Studi, lembaga swadaya masyarakat ataupun aktivitas-aktivitas lainnya. Begitupun yang terjadi dalam perkembangan pers mahasiswa di tanah air. Maraknya penerbitan mahasiswa mulai muncul di berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
Semenjak kebekuan IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia) di tahun 1982, praktis aktivitas penerbitan mahasiswa tidak banyak muncul. Namun kegiatan-kegiatn off print seperti halnya pelatihan dan pendidikan jurnalistik mahasiswa ataupun diskusi masih bisa dilakukan oleh beberapa perguruan tinggi. Momentumnya adalah menjelang tahun 1986 aktivitas-aktivitas ini mulai marak dilakukan dengan skala yang lebih luas, mempertemukan pegiat-pegiat pers mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi. Sebagai sebuah akumulasi persoalan-persoalan yang dibahas dan dipecahkan oleh para pegiat pers mahasiswa yang sering bertemu dalam forum-forum tersebut, tercetus keinginan untuk kembali mengkonsolidasikan potensi kekuatan pers mahasiswa di berbagai daerah dalam mendorong bangkitnya aktivitas pers mahasiswa, serta mendefinisikan dan mengaskn kembali peranan yang harus dipegang pers mahasiswa dalam menghayati persoalan-persoalan yang dihadapi kontekstual dengan fenomena sosial yang berkembang.
Dari berbagai sumber yang sempat dilansir dan disarikan dari beberapa media mahasiswa, tersirat keinginan dari sekian pegiat pers mahasiswa saat itu tentang terbentuknya sebuah wadah di tingkat nasional yang diharapkan dapat menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi pers mahasiswa. Secara kronologis fase-fase konsolidasi pers mahasiswa Indonesia dalam rangka menggalang komitmen dan mendorong upaya jaringan komunikasi dann sosialisasi pers mahasiswa bisa dicermati dari tulisan di bawah ini :
Dari Pers Mahasiswa Menuju PPMI
Setelah “Vacum” akibat pembredelan sebagai buntut peristiwa Malari, 15 Januari 1974 dan strukturisasi kelembagaan mahasiswa di bergbagi perguruan tinggi melalui NKK/BKK. Pers mahasiswa (persma) pasca 1980-an kembali. Ditandai dengan terbitnya berbagai media mahasiswa misalnya, Balairung - UGM - 1985, Solidaritas Universitas Nasional Jakarta - 1986, Sketsa Universitas Jenderal Soedirman 1988, Pendapa Universitas Sarjana Wiyata Taman Siswa 1988, Akademika Universitas Udayana 1983- dan lain-lainya, usaha-usah unutk menata kembali jaringan komunikasi dann penggalangan komitmenn pers mahasiswa mulai dirintis.
Usaha-usaha itu meliputi :
Pendidikan Pers Mahasiswa Se Indonesia : tanggal 27 - 29 Agustus 1987 diselenggarakan oleh majalah Balairung, tercetus ide untuk kembali mewujudkan wadah pers mahasiswa. Juga terbentuk poros Yogya - Jakarta sebagai koordinator menuju kongres yang dimandatkan kepada Rizal Pahlevi Nasution (Universitas Moestopa) Abdulhamid Dipopramono (UGM)
Pertemuan dengan mantan aktivis IPMI/Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (Diantaranya Adi Sasono, Makmur Makka, Wikrama Abidin, Ina Mariani, Masmiar Mangiang, Razak Manan) tanggal 19-22 September 1987 di Jakarta. Hasil dari pertemuann ini dibentuk panitia ad-hoc konsolidasi pers mahasiswa yang terdiri dari : Rizal Pahlevi Nasution, Imran Zein Rollas, M.Imam Aziz, dan Abdulhamid Dipopramono. Disepakati untuk melakukan sosialisasi ide kelembagaan pers mahasiswa tingkat nasional.
Sarasehan Pengelola Pers Mahasiswa Indonesia di Kaliurang - Yogyakarta tanggal 11 - 13 Oktober 1987 oleh lembaga pers mahasiswa Universitas Nasional.
Pekan Orientasi Jurnalistik Mahasiswa Nasional II di Jakarta, tanggal 17 - 27 Oktober 1988 oleh lembaga pers mahasiswa Universitas Nasional
Sarasehan Pers Mahasiswa Nasional di Bandar Lampung tanggal 26 - 27 Maret 1987 diselenggarakan oleh SKM Teknokra Universitas Lampung.
Orientasi Pendidikan Jurnalistik Mahasiswa di Jakarta tanggal 21 - 28 Mei 1988 oleh Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Sarasehan Aktivis Pers Mahasiswa IAIN se-Indonesia di Yogyakarta tanggal 11 - 12 April 1988 oleh IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Puwokerto Informal Meeting di Purwokerto, tanggal 6 - 7 Agustus 1988 oleh SKM Sketsa Universitas Jenderal Soedirman.
Pertemuan dengan pimpinan IPMI pusat di Jakarta, 10 Agustus 1988 oleh tim kerja persiapan kongres.
Latihan Ketrampilan Pers Mahasiswa tingkat Pembina se-Indonesia di Yogyakarta, tanggal 28 Agustus - 1 September 1988.
Panel diskusi Sarasehan Pers Mahasiswa Indonesia di Purwokerto, 19 - 22 September 1988 di Universitas Jenderal Soedirman (disebut : Pra kongres IPMI VI). Hasil penting dari sarasehan ini berupa DEKLARASI BATU RADEN, yang diantaranya ditandatangani oleh 18 wakil aktivis pers mahasiswa kota yang hadir. Deklarasi berbunyi : ” Sadar bahwa demokrasi, keadilan dan kebenaran yang hakiki merupakan cita-cita bangsa Indonesia yang harus selalu diupayakan secara berkesinambungan oleh seluruh komponennya yang bertanggungjawab dan sebagai salah satu komponennya bertanggungjawab dan memperjuangkan cita-cita tersebut secara kritis, konstruktif dan independen. Dengan didorong semangat kebersamaan, dann disorong oleh keinginan luhur untuk melestarikan dan mengembangkan pers mahasiswa di Indonesia, maka seluruh aktivis pers mahasiswa menyatakan perlu dihidupkannya kembali wadah nasioal yang bernama Ikatan Pers Mahasiswa Idonesia (IPMI)”.
Pemberedelan pertama
Kondisi pers kita sesudah proklamasi, memang jauh berbeda dibanding di masa penjajahan Belanda dan Jepang. Di masa itu orang enggan membaca koran, lantaran beritanya melulu untuk kepentingan penguasa. Sedang pada masa kemerdekaan, koran apa saja selalu menjadi rebutan masyarakat. Sehari setelah beberapa koran mengabarkan berita tentang pembacaan teks proklamasi, maka hari-hari berikutnya masyarakat mulai memburunya. Mereka tampaknya tidak mau ketinggalan barang seharipun dalam mengikuti berita perkembangan negaranya yang baru merdeka itu. Minat baca semakin meningkat dan orang mulai sadar akan kebutuhannya terhadap media massa. Suasana seperti ini tentunya berdampak positif bagi para pengelola media masa di masa itu. Usaha penerbitan koran pun mulai marak kembali, yang konon diramaikan oleh irama gemercaknya suara alat cetak intertype atau mesin roneo. Sementara itu para kuli tinta yang sibuk kian kemari memburu berita, semakin banyak jumlahnya. Untuk menertibkan dan mempersatukan mereka, pada tahun 1946 atas inisiatif para wartawan telah dilangsungkan kongres di Solo. Dalam kongres itu telah dibentuk persatuan wartawan dan Mr. Sumanang, ditunjuk sebagai ketuanya.
Tercatat beberapa peristiwa penting dalam sejarah pers di masa revolusi yakni di tahun yang sama telah didirikan Sari Pers di Jakarta oleh Pak Sastro dan kantor berita Antara dibuka kembali, setelah selama tiga tahun dibekukan Jepang. Kantor Sari Pers setiap hari mencetak ratusan koran stensilan yang memuat berbagai berita penting dari seluruh tanah air.
Mengikuti berita surat kabar di masa itu, memang mengasyikkan dan sekaligus mendebarkan. Dari hari ke hari beritanya silih berganti, dari pertempuran dan perundingan, sampai pembangunan serta kabar berita yang penuh suka dan duka. Seperti berita di tahun 1945. Indonesia Merdeka telah disambut luapan gembira, namun di bulan November muncul berita duka, yakni tentara Inggris telah membantai ribuan rakyat dan para pejuang kita serta membumihanguskan kota Surabaya. Di tahun 1946 rakyat kita telah memperingati hari proklamasi dengan sangat meriah sebanyak dua kali, yakni pada tanggal 17 Februari, ketika Indonesia Merdeka baru berumur setengah tahun dan tanggal 17 Agustus. Tahun 1946 ditutup dengan munculnya berita musibah yang memenuhi halaman-halaman koran, yakni pembunuhan 40.000 rakyat Sulsel oleh Gerombolan Westerling pada tanggal 11 Desember. Tindakan kejam ini dilakukan pihak Belanda untuk melancarkan jalan menuju terbentuknya negara boneka Indonesia Timur.
Berita yang menggembirakan tahun 1948 adalah diselenggarakannya Pesta Pekan Olahraga Nasional pertama di Solo secara meriah pada tanggal 9 September. Namun berita-berita PON itu tiba-tiba sirna oleh terjadinya Peristiwa Madiun pada tanggal 18 September di kota yang sama. Memasuki tahun 1948 situasi dan kondisi negara RI memang mulai diwarnai oleh suasana perpecahan. Di masa itu semakin terasa ada dua golongan yang saling bertentangan yakni golongan kanan (Front Nasional) dan golongan ekstrem kiri (komunis) yang disebut FDR (Front Demokrasi Rakyat). Puncak konflik ini ditandai oleh meletusnya pemberontakan Peristiwa Madiun yang didalangi oleh PKI Muso. Peristiwa ini sempat mengguncang pemerintah. Betapa tidak, sementara rakyat kita sedang sibuk menghadapi agresi Belanda, tiba-tiba PKI menusuk dari belakang. Pidato Presiden Soekarno yang berbunyi: "Pilih Soekarno-Hatta atau Muso dengan PKI-nya" sempat menjadi berita utama dalam setiap koran. Di masa penuh konflik inilah untuk pertama kalinya terjadi pemberedelan koran dalam sejarah pers RI. Tercatat beberapa koran dari pihak FDR seperti Patriot, Buruh, dan Suara Ibu Kota telah dibreidel pemerintah. Sebaliknya, pihak FDR membalas dengan membungkam koran Api Rakjat yang menyuarakan kepentingan Front Nasional. Sementara itu fihak militer pun telah memberedel Suara Rakjat dengan alasan terlalu banyak mengeritik pihaknya.
Hubungan pemerintah dan pers
Pada tahun 1946, pihak pemerintah mulai merintis hubungan dengan pers. Di masa itu telah disusun peraturan yang tercantum dalam Dewan Pertahanan Negara Nomor 11 Tahun 1946 yang mengatur soal percetakan, pengumuman, dan penerbitan. Kemudian diadakan juga beberapa perubahan aturan yang tercantum dalam Wetboek van Strafrecht (UU bikinan Belanda), seperti drukpersreglement tahun 1856, persbreidel ordonnantie 1931 yang mengatur tentang kejahatan dari pers, penghinaan, hasutan, pemberitaan bohong dan sebagainya. Namun upaya ini pelaksanaannya tertunda karena invasi dari pihak Belanda. Barulah setelah Indonesia memperoleh kedaulatannya di tahun 1949, pembenahan dalam bidang pers dilanjutkan kembali. Di saat itu telah terjadi peristiwa bersatunya kembali golongan insan pers yang bergerak di kota yang dikuasai Belanda dengan golongan yang bergerak di daerah gerilya. Hubungan itu meliputi soal perundang-undangan, kebijaksanaan pemerintah terhadap kepentingan pers dalam hal aspek sosial ekonomi maupun aspek politisnya.
Dalam UUD pasal 19 contohnya, telah dicantumkan kalimat, setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat. Pelaksanaan UUD pasal 19 tersebut telah diusulkan dalam sidang Komite Nasional Pusat Pleno VI Yogya tanggal 7 Desember 1949 yang intinya, Pemerintah RI agar memperjuangkan pelaksanaan kebebasan pers yang mencakup memberi perlindungan kepada pers nasional, memberi fasilitas yang dibutuhkan perusahaan surat kabar, dan mengakui kantor berita Antara sebagai kantor berita nasional yang patut memperoleh fasilitas dan perlindungan.
Usulan di atas kemudian dijawab. Pemerintah RI sudah mulai merencanakan segala peraturan mengenai pers dan berupaya sekerasnya untuk melaksanakan hak asasi demokrasi. Hubungan antara pemerintah dan pers lebih dipererat dengan cara membentuk Panitia Pers pada tanggal 15 Maret 1950, penambahan halaman koran, persediaan kertas dan bahan-bahan yang diperlukan, tanpa ada ikatan apapun yang mengurangi kemerdekaan pers. Untuk meningkatkan nilai dan mutu jurnalistik, maka para wartawan diberi kesempatan untuk memperdalam ilmunya. Dan diupayakan pula agar kedudukan kantor berita Antara lebih terasa sebagai mitra dari para pengelola surat kabar.
Upaya di atas telah memungkinkan terciptanya iklim pers yang tertib dan menguntungkan semua pihak. Jumlah perusahaan koran pun dari tahun ke tahun semakin meningkat. Buktinya dalam kurun waktu empat tahun sesudah 1949, jumlah surat kabar berbahasa Indonesia, Belanda, dan Cina naik, dari 70 menjadi 101 buah. Sekalipun demikian bukan berarti mutu jurnalistiknya ikut meningkat. Untuk itu, Ruslan Abdulgani dalam tulisannya "Pers Nasional dan Funksi Sosialnya" telah menulis sebagai berikut, "Mempertinggi mutu journalistiek pada umumnja harus diartikan mempertinggi kwaliteit apa jang ditulis: hal ini dapat ditjapai bila wartawan berkesempatan tjukup memperlengkapi dirinja dengan pengetahuan tentang keadaan jang hendak ditulis, dan pelbagai ilmu pengetahuan seperti ilmu politik, sociologie, ekomomi, psychologie, sedjarah dan ketatanegaraan".