Jalan-jalan. Lihat arsitektur yang tidak mudah ditemukan di sekitar. Itu salah satu asiknya kuliah di arsitektur. Jalan-jalan, indeed. Di semester 3 ini saya mengambil mata kuliah wajib 'Sejarah Arsitektur Nusantara'. Ini sudah akhir semester, sudah liburan. Dengan sok memanfaatkan momen liburan untuk belajar *asik, dosen pengampu mata kuliah ini beserta asdosnya merencanakan kuliah lapangan ke Tasikmalaya, tepatnya ke kampung Naga suku Badui.
Sekitar 50-an anak yang mengambil mata kuliah ini turut serta dalam kuliah lapangan kali ini. Hanya satu bis dengan kursi 3 -2. Kalau saya sih pendek, yang kasihan tuh partner saya si Dewi, kakinya panjang, gak cukup masuk di bis berbangku mini tersebut.
Hal pertama yang saya pikirkan saat pagi hari kami tiba di lapangan bis kampung Naga adalah TANGGA. Oke, masyarakat suku Badui ini termasuk yang membatasi kehidupan suku mereka dengan dunia modern, eits tapi bukan berarti mereka gak modern lho ya. Untuk memasuki perkampungan ini, kita harus menuruni tangga, ratusan anak tangga. Sampe seribu gak ya? Lupa, hehe. Terus gimana nanti baliknya? Ah, itu urusan nanti, ya nanti.
Saat tiba di bawah di jalan utama perkampungan, udara terasa berbeda dengan di atas tadi, udaranya bersih tanpa tercemari polusi knalpot kendaraan bermotor. Kami melewati jembatan, di atas jembatan terdapat molen pengaduk semen, kelihatannya jembatan baru dibangun. Wait! How did this molen get here??? :|
Perkampungan di kelilingi pegunungan dan terdapat semacam hutan lindung di sebelah barat dan timurnya yang disebut oleh penduduk sekitar 'hutan terlarang'. Duh, sekali dengar seperti di dongeng atau cerita anak-anak. Hutan itu memilik banyak sekali pantangan sampai-sampai mengambil kayu bakar dari hutan tersebut pun dilarang. Ya, bagi saya ada dua kemungkinan: supaya hutan tersebut terjaga kealamiannya dan tidak rusak, atau memang berpenunggu raja jin, hihi.
Sudah pernah dengar kalau rumah di kampung Naga ini rumah tahan gempa? Loh, padahal rumah adat? Pasalnya, struktur bagian bawah rumah menggunakan umpak, umpak yang ditanam ke tanah berisi semen dan batuan kali. Tiang rumah dari kayu ditanam ke umpak itu. Lantainya berlantai kayu dengan dinding geribik dari bambu. Atapnya? Jangan ditanya, lebih alami lagi, terdiri dari susunan ijuk dan daun pisang, saking alaminya, ijuknya sampai ditumbuhi rumput-rumput. Orientasi rumah menghadao utara-selatan. Seluruh rumah di kampung ini bertipikal sama PERSIS, hanya ukurannya yang membedakan dengan bagian bawah rumah yang dimanfaatkan sebagai kandang hewan seperti ayam.
Denah rumah sangat unik. Rumah terpisah menjadi dua bagian, bagian yang dimasuki dari pintu tamu, digunakan sebagai ruang tamu dan bagian dalam rumah yang lebih privat namun mempunyai akses pintu sendiri yang dimanfaatkan untuk dapur dan kamar tidur pemilik rumah. Sederhana sekali. Lalu, kamar mandinya? Kita tinggal keluar rumah di setiap sudut kampung tersedia kamar mandi umum. Eits, jangan dipikir kamar mandi dengan bak mandi dan terbuat dari keramik. Kamar mandi ini simpel, terbuat dari bambu-bambu dengan air yang mengambil air sungai menggunakan pompa dan berbentuk panggung terletak tepat di atas empang. Jadi kalau mau BAB, you know lah kelanjutannya. Kalau mau menggunakan kamar mandi umum turis bisa juga, naik aja lagi melewati ratusan anak tangga tadi, terus pas balik lagig udah keringetan lagi. I did that, I knew it was stupid.
Kami menginap di kampung itu di rumah-rumah warga, satu rumah ditinggali 5-6 orang. Kalau malam hari tepat pukul delapan lampu-lampu minyak sudah dimatikan dan warga sudah berada di rumahnya masing-masing. Kampung Naga ini tidak menggunakan listrik lhoo, hanya pak kepala kampung yang memiliki genset untuk mengecas HP dan menyalakan siaran televisi. Jadi pada saat malam hari, kami menggambar hasil kuliah lapangan di bawah temaran lampu minyak. Benar-benar temaram, pas ada angin goyang-goyang.
Orang-orang di sana pada dasarnya ramah sekali, kami disuguhi makanan yang lezat, makanan kampung tapi enak, yakin. Apalagi sambal buatan ibu-ibu di sana, nikmat sekali yang saya belum pernah menemukan di luar. Rasanya berbeda, wajib dicoba ini.
Penduduk Badui ini menganut agama Islam, hanya saja mereka hanya melaksanakan sholat di hari-hari tertentu saja seperti hari Kamis. Banyak sekali larangan-larangan, namun saya pikun.
Sempat terbesit di pikiran saya, penduduk di sana sangat sederhana sekali hidup. Kehidupan harmonis tanpa banyak sentuhan dunia modern. Tapi mereka hidup harmonis. Sangat sedikit sekali warga Badui yang menikah dan berkehidupan di luar kampung Naga.